Previous Page Table of Contents Next Page


WBL/85/WP - 16
BUDIDAYA LAUT DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA
DI SUMATERA UTARA

Oleh

R. Sihotang1

1. PENDAHULUAN

Budidaya laut mempunyai sejarah yang panjang sejak 2.000 tahun sebelum Masehi ketika orang di Jepang memulai pemeliharaan tiram laut (oyster). Dari literatur diketahui, bahwa Cina sudah memelihara ikan di air asin sejak 475 sebelum Masehi dan budidaya tiram laut di Junani sejak 100 tahun sebelum Masehi (Milne, 1972).

Kebutuhan akan protein hewani laut semakin meningkat sementara peningkatan produksi hasil laut dibeberapa negara tidak sebanding dengan pertambahan produksi, maka orang memikirkan untuk mendapatkan hasil laut dari budidaya (Lucas, 1966).

Tiga kelompok hewan laut yang biasa dibudidayakan, yaitu kelompok molusca, crustacea dan vertebrata (umumnya ikan). Kemudian dikembangkan juga berbagai tumbuhan laut seperti rumput laut (seaweed).

Indonesia yang akumulatif garis pantainya terpanjang di dunia, memiliki potensi alamiah budidaya laut yang sangat besar, tetapi belum banyak diusahakan. Usaha penangkapan ikan di laut di beberapa daerah telah dihadapkan kepada masalah konflik ekologi yang semakin luas, karena itu perlu menciptakan bidang usaha baru yang akan mengurangi intensitas konflik itu. Sejalan dengan itu perlu masukan tekhnologi dan manajemen yang sesuai.

Berikut ini adalah informasi mengenai apa yang dapat kita lakukan di Sumatera Utara untuk menciptakan suatu prospek pengembangan budidaya hewan laut itu untuk meningkatkan kontribusi perikanan di daerah ini.

1) Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Utara.

2. POTENSI PENGEMBANGAN

2.1 Jenis hewan dan tumbuhan yang sesuai untuk budidaya laut dan daerah penyebarannya

Kelompok penting makhluk hidup yang biasa dibudidayakan dilaut adalah Molusca, Crustacea dan ikan (MILNE, 1972) serta rumput laut. Dalam kehidupan alamiah di perairan laut Sumatera Utara terdapat banyak jenis hewan dan rumput laut dari kelompok-kelompok di atas. Di antara jenis hewan itu telah sejak lama dipungut oleh nelayan secara tradisional. Rumput laut pernah diolah oleh satu perusahaan, tapi telah menghentikan usahanya.

Beberapa janis hewan laut menurut kelompok sebagai berikut :

  1. Kelompok Molusca :

    1. Kerang-kerangan (Anadara spp)
    2. Kerang hijau (Mytilus spp)
    3. Tiram (Crassostrea spp)
    4. Simping (Amusium spp)
    5. Remis (Meretrix spp)
    6. Penyu (Chelonia spp)

  2. Kelompok Crustacea

    1. Udang windu (Penaeus monodon)
    2. Udang putih (Penaeus merguiensi)
    3. Udang dogol (Metapenaeus spp)
    4. Udang barong (Panulirus spp)
    5. Kepiting bakau (Scylla serrata)

  3. Kelompok ikan (Finfish)

    1. Kerapu (Epinephelus spp)
    2. Belanak (Mugil spp)
    3. Kakap putih (Lates calcarifer)
    4. Bandeng (Chanos-chanos)
    5. Ikan-ikan hias (ornamental fishes)

Semua jenis di atas terdapat di perairan Sumatera Utara. Beberapa jenis seperti penyu, kerang hijau dan bandeng hanya terdapat di daerah tertentu.

Perairan littoral dan sublittoral Sumatera Utara pada umumnya memiliki endapan lumpur berpasir, tebalnya bervariasi tergantung pada luas muara sungai, kadar lumpur yang mencapai pantai dan keadaan daerah sempalan sungai serta daerah aliran sungai (DAS).

Dari 16 batang sungai besar di Sumatera Utara, 11 diantaranya bermuara di Pantai Timur (Selat Malaka). Satu hal yang perlu diingat, bahwa semua sungai itu berhulu di dataran tinggi Toba yang tergolong kawasan kirtis sehubungan dengan lapisan vegetasinya yang semakin menipis dan menyempit, karena itu tingkat erosi tinggi dan sering banjir.

Sebagian besar hewan di atas hidup subur di perairan littoral setidaknya erat hubungannya dengan bagian littoral sesuai dengan kenyataan bahwa perairan pantai suatu pulau sanggup memberikan perkembangan paling pesat bagi faunanya (Alle & SCHMET, 1962). Kekurangan zat asam pada dasar littoral dan estuaria tak pernah terjadi, karena aliran air tawar dari sungai-sungai terus berlangsung.

Sejarah geologi Sumatera mewujudkan dua daerah pantai yang berbeda di Sumatera. Daerah Pantai Timur jauh dari gugusan Bukit Barisan dan perairannya dangkal. Tetapi daerah Pantai Barat sangat dekat dengan pegunungan, bahkan sebagian pantainya adalah kaki gunung seperti yang terdapat di sebelah barat semenanjung Malaka dan tanah genting Kra.

Sehubungan dengan itu daerah penyebaran hewan laut di atas berdasarkan potensi penangkapan per species, (lihat tabel 1) pada garis besarnya sebagai berikut :

  1. Kelompok molusca di Pantai Timur, kecuali tiram dan penyu di Pantai Barat;
  2. Kelompok crustacea di Pantai Timur dan sedikit di Pantai Barat;
  3. Kelompok ikan di Pantai Barat, kecuali belanak di Pantai Timur.

Tiram, penyu dan kelompok ikan di Pantai Barat (khususnya yang sesuai dibudidayakan) terdapat menyebar. Tiram di daerah - daerah berkarang di Barus dan Nias, tetapi tidak diambil oleh nelayan, penyu di pulau-pulau Batu, kelompok ikan seperti kerapu di Pantai Tapanuli Tengah dan Nias.

Kelompok Molusca lain seperti kerang darah (Anadara spp), kerang hijau (Mytilus spp), simping (Amusium spp) dan remis (Meterix spp) di Pantai Timur terbanyak dipantai Asahan, sebagian pantai Deli Serdang dan sebagian pantai Labuhan Batu, yaitu yang berdekatan dengan daerah Asahan. Di daerah-daerah penangkapan tersebut terdapat dasar perairan eulittoral dan littoral campuran lumpur dan pasir, habitat yang paling sesuai untuk molusca (ALLE & SCHMIDT, 1962), dimana terdapat detritus yang berkembang subur.

Dari pengamatan terdapat hasil cedukan kerang darah (Andara granosa) sementara diduga, bahwa kawasan spat dan kawasan kerang dewasa berada pada bidang vertikal, mulai dari muara sungai ke arah laut sejalan dengan salinitas yang semakin tinggi. Apakah bidang vertikal itu tetap atau berpindah-pindah, masih menunggu jawaban dari suatu penelitian yang diharapkan dapat dilaksanakan segera.

Kelompok crustacea yang paling banyak dicari karena nilai tukarnya tinggi adalah udang dan kepiting bakau (Scylla serrata). Semua perairan Sumatera Utara potensial akan crustacea.

Dalam tulisan ini belum dapat disajikan data kwantitatif mengenai potensi alamiah (natural stock) dan potensi maksimum penangkapan berimbang lestari (maximum sustainable yield), karena belum pernah dilakukan suatu stock assesment untuk itu, walaupun untuk udang telah pernah sambil lalu bersana demersal lainnya.

2.2 Produksi dari sumber alami dan pemasarannya

2.2.1 Produksi

Pada delapan Daerah Tingkat II, diantaranya dua kotamadya adalah daerah penangkapan beberapa jenis dari kelompok molusca, crustacea dan ikan tertentu. Terbanyak adalah kelompok molusca, kemudian crustacea. Dari jenis ikan adalah kerapu, kakap dan belanak (Tabel 1).

Table 1. Produksi penangkapan Molusca, Crustacea dan ikan tertentu menurut jenis dan Daerah Tk. II di Sumatera Utara 1983.

Satuan : ton

No.JenisLangkatD. SerdangMedanAsahanTg. BalaiLab. BatuTaptengNiasJumlah
1.234567891011
1.Kerang darah-309,3-24.048,65.564,8342,5--30.265,2
2.R e m i s---1.495489,5---1.984,5
3.Kepiting206.641,627,7210,7-3,4--490,-
4.Udang barong---------
5.Udang windu99257,182188,2-103,3--798,4
6.Udang putih1.167,2172,6117,42,728,4-104,168,233.369,3
7.P e n y u-------29,929,9
8.K a k a p59,799,871,4--107,2154,5232,6725,2
9.K e r a p u123,9--56,9--131,7246,7559,2
10.Belanak63,5288,2-477,9-690,2-79,61.599,4

Kerang darah (Anadara granosa) adalah jumlah terbanyak yang dikumpulkan oleh para pengumpul kerang dengan alat sederhana. Dalam tujuh tahun produksinya masih relatif konstan, tetapi ukuran individu semakin kecil, karena semakin banyak kerang muda dikumpulkan.

Tetapi remis (Amusium spp) dikeruk dari dasar laut, dalam jumlah yang bervariasi dari tahun ke tahun sesuai dengan daya serap pasar.

Kepiting (Scylla serrata) semakin banyak ditangkap, terutama setelah tahun 1981 terbuka pasaran luar negeri bagi komoditi itu. Udang barong (Panulirus spp) hanya sedikit yang dapat ditangkap walapun permintaan pasar tetap kuat, karena di laut tidak banyak terdapat.

Udang windu (Penaeus monodon) yang didaratkan di Sumatera Utara sangat bervariasi dari tahun ke tahun, karena sebenarnya hasil tangkapan dari daerah lain sering didaratkan di Sumatera Utara. Udang putih (Penaeus merguensis) adalah kelompok Crustacea terbanyak didaratkan di Sumatera Utara. Tahun 1984 jumlah produksi udang putih semakin merosot.

Penyu (Chelonia mydas) diburu di perairan pulau-pulau Batu, Nias dalam jumlah terbatas, karena pemasaran belum luas, disamping jarak daerah penangkapan dengan daerah pemasaran di Sibolga lebih 181 mil dan sangat jarang sarana perhubungan.

Dari angka penyebaran produksi tahun 1983 dapat diketahui, bahwa daerah Asahan adalah penghasil terbesar molusca, crustacea. Tetapi kakap dan kerapu terbanyak dihasilkan oleh Nias dan Tapanuli Tengah. (Tabel 2).

Tabel 2 Produksi penangkapan molusca, crustacea dan jenis ikan tertentu di Sumatera Utara tahun 1978 – 1984.

Satuan : ton.

TahunKerang darahRemisKepitingUdang BarongUdang WinduUdang PutihPenyuKerapuKakapBelanak
197832.3034.221,6138,231,7719,21.392,43,1629,3580,61.445,7
197929,8642.376,3132,657,4570,92.340,8-659,5577,91.564,5
198027.848,11.784,210047,6896,33.1088,4896,91.020,61.765,2
198126.461,96.943,6320,452,11.441,23.490,924582,7412,21.289,9
198227.2541.457,6928,152,11.315,44.648,8107,6623,3517,51.537,1
198330.265,21.984,5490x)798,44.648,329,9725,5559,21.599,4
198429.637,12.025,8541,652,9974,32.933,145,81.249,51.464,11.724,1

Diantara ikan-ikan yang tertangkap, terdapat ikan kerapu (Epinephelus spp) kakap putih (Lates calcarifer) dan belanak (Mugil spp), dengan produksi relatif tetap, karena permintaan hanya dari pasar lokal yang hampir tidak berkembang terhadap ketiga jenis ikan itu. Kerapu dan kakap telah mulai menyeberang ke pasar luar negeri sejak tahun 1983 karena itu mendorong peningkatan produksi kedua jenis ikan itu sejak tahun 1984.

2.2.2 Pemasaran

Insentif bagi suatu usaha tani adalah salah satu unsur penting untuk pengembangan dan kemajuan pertanian. Pasar yang dapat, memberikan nilai tambah yang memadai bagi hasil pertanian adalah salah satu kunci sukses usaha tani ( A.T. MOSHER, 1968 ).

Terbukti, bahwa kemajuan budidaya laut di Thailand dan Malaysia, tetangga kita, diperoleh berkat insentif yang cukup menarik yang diberikan oleh pasar lokal. Seekor tiram (Crassostrea spp) umur 18 bulan di Surat Thani (Thailand) pada bulan Agustus 1985 berharga $ 8.00 (Rp. 320,-) , simping (Amusium spp) $ 4.00 (Rp. 160,-), kerang darah (Anadara granosa) di Port Weld (Malaysia) M$ 0,30 (Rp. 150,-) per kilogram.

Tetapi di Sumatera Utara tiram tak berharga, karena konsumen lokal tak menyukainya. Harga kerang darah di kota Medan hanya Rp. 75,- /kg, sama dengan separoh harga dipasar produsen Port Wels Malaysia. Dan pengumpul kerang hanya menerima Rp. 50,-/kg di tempat pendaratan kerang.

Bulan yang sama, ikan kerapu di Kuala Kurau (Malaysia) dijual pemelihara M$ 8.00 (Rp. 3.600,-) per kilogram, tiga kali lebih mahal dari harga di pasar Medan.

Inilah salah satu hambatan mengenai pemasaran kerang dan ikan di daerah Sumatera Utara, salah satu akibatnya adalah percepatan terhadap kemerosotan potensi alami kerang, sebab nelayan harus mengumpulkan kerang sebanyak-banyaknya dalam sehari penangkapan hanya untuk mendapatkan sejumlah nilai yang minimal bagi kehidupan harian keluarganya. Tetapi harus juga diingat, bahwa secara umum daya tampung pasar lokal sesuai dengan daya beli masyarakat.

Sebuah perusahaan di Kisaran (Asahan) berusaha mengalengkan daging kerang, tetapi setahun kemudian harus menghentikan produksi kerang kalengan, karena tidak laku.

2.3. Prospek pengembangan budidaya laut

Setelah produksi dari sumber alami kelompok molusca dan crustacea yang ekonomis penting makin berkurang, terutama jenis-jenis untuk diekspor, kini tibalah saatnya untuk memperoleh komoditi itu dari sumber budidaya.

Walaupun pengumpulan kerang di Sumatera Utara telah dilakuan sejak zaman Mesolithicum (8.000-4.500 SM) hingga kini terbukti dari hasil penemuan bukit-bukit kulit kerang dibawah lapisan tanah situs kerajaan Haru dan Pane kuno (HR. Van Heekeren, 1955), namun budidaya molusca dan crustacea belum pernah dilakukan.

Ikan kerapu dan ikan kakap telah dihidangkan orang di Bandar Barus kepada pedagang-pedagang Persia dan India sejak 4.000 SM, tetapi hingga dewasa ini hanya usaha penangkapan saja yang dilakukan.

Kerang-kerangan dan udang yang ditangkap dewasa ini didominasi ukuran kecil (muda) dapat diduga bahwa tingkat pemanfaatan stock alami telah melalui titik berimbang lestari. Permintaan akan komoditi itu semakin meningkat juga.

Maka dari potensi alamiah untuk budidaya molusca, crustacea dan ikan-ikan tertentu, berbagai masukan tekhnologi budidaya telah dapat dicontoh, tenaga kerja sudah semakin meningkat serta pasaran masih terbuka, maka semakin jelas, bahwa prospek budidaya laut seyogianya semakin cerah di Sumatera Utara.

Berbicara mengenai prospek pengembangan budidaya molusca, crustacea dan ikan di laut masih harus berandai-andai, jika sudut pandang kita dari aspek sosial ekonomi. Tetapi untuk kebutuhan protein hewani masa depan, adalah hal yang pasti untuk segera memulai penelitian-penelitian dan uji-coba budidaya laut sejak sekarang juga. Apalagi dikaitkan dengan kebutuhan lapangan kerja yang semakin meningkat, tentu kita harus segera membuka usaha-usaha padat karya yang ekonomis.

Dengan ringkas prospek pengembangan budidaya laut di Sumatera Utara dapat digambarkan sebagai berikut :

  1. Kawasan penyebaran spat dan benih terdapat luas di Sumatera Utara, tetapi perlu diselidiki mengenai kualitas dan kwantitas potensi itu.
  2. Kawasan pembesaran (rearing areas) juga terdapat luas, namun harus diselidiki lebih lanjut segala aspek yang berkenaan.
  3. Tenaga kerja cukup banyak dan tidak memerlukan tenaga skill tinggi, kecuali untuk tugas-tugas laboratorium.
  4. Kesuburan kawasan alamiah untuk budidaya laut cukup tinggi
  5. Pasaran untuk budidaya laut masih mungkin diperluas sejalan dengan angkutan darat yang semakin lancar dan kemungkinan pendekatan pasar luar negeri.
  6. Suatu usaha budidaya laut tidak memerlukan investasi terlalu besar, karena itu cukup banyak rumah tangga yang dapat berpartisipasi dalam pengembangannya.

2.3.1 Potensi dan penyebaran daerah yang diduga sesuai bagi budidaya laut komersil.

Potensi budidaya laut erat hubungannya dengan lingkungan pada calon lokasi budidaya laut. Pemilihan lokasi yang lebih teliti pada perairan pantai menghendaki analisa yang tajam mengenai keadaan air, gangguan arus dan pencemaran (MILNE, 1972). Dengan demikian studi mengenai habitat harus dilakukan untuk mengetahui ekologi yang sesuai untuk hewan laut yang akan dipelihara. Kualitas air yang semakin menurun, pertama sekali akan mengurangi kekayaan perairan itu akan mikro organisme makanan alami bagi hewan peliharaan, seperti alga, artemia salina dan lain-lain.

Habitat kerang pada muara-muara sungai di pantai timur Sumatera Utara juga tempat berbiak kelompok molusca, crustacea dan ikan-ikan tertentu. Spat membutuhkan kadar garam rendah hingga berusia 6 bulan, sesudah itu dengan mengikuti gerakan arus air dasar dia berpindah menjauh daerah muara ke daerah berkadar garam lebih tinggi dan dasar lumpur bercampur pasir. Pertumbuhan kerang darah remaja akan menurun bila salinitas air di tempat tinggalnya semakin rendah (ALLE & SCHIMDT, 1962).

Mengingat jumlah sungai yang bermuara ke pantai timur Sumatera Utara demikian banyaknya dan daerah sempadan sungai yang demikian luas maka daerah penyebaran spat, benur dan ikan-ikan euryhaline pasti banyak. Dan daerah pembesaran molusca, crustacea dan ikan cukup luas pada teluk yang bebas dari gangguan ombak, angin kencang dan arus kuat seperti di Kabupaten Asahan, Deli Serdang, Labuhan Batu, Langkat, Tapanuli Tengah dan Nias. Namun demikian diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk memastikan lokasi yang tepat. Bagi lokasi yang dinyatakan sesuai masih memerlukan tindak lanjut mendasar seperti pemetaan, pengaturan untuk legalitas usaha dan pembinaannya serta konsepsi konservasi.

Di pantai barat Sumatera Utara, melihat bentuk pantainya, kemungkinan daerah spat, benur dan benih ikan tidak, seluas di pantai timur, tetapi daerah pembesaran cukup bagus di Teluk Tapian Nauli, kawasan estuaria di Kolang, Barus, Natal dan Nias. Tetapi kawasan benih di pantai timur dapat dihubungkan dengan kawasan pemeliharaan di pantai barat dalam tempo kurang dari 12 jam.

2.3.2 Tekhnologi.

Sumatera Utara masih mencari tekhnologi tepat guna pengembangan budidaya laut. Uji-coba kerang hijau (Mytilus viridis) memakai rakit belum ditempatkan pada lokasi yang sesuai. Dilanjutkan dengan “raft” pakai tali, tetapi spat lebih menyukai tonggak-tonggak yang berdiri didalam air laut dari pada tali. Budidaya crustacea di laut belum pernah dicoba. Budidaya laut pernah dimulai, tapi hambatan pemasaran memaksa perusahaan pengelolaannya tutup. Budidaya ikan belum pernah dimulai. Tetapi budidaya penyu telah ada walaupun belum sepenuhnya berorientasi bisnis.

Dengan demikian disimpulkan, bahwa dalam hal tekhnologi budidaya laut, Sumatera Utara masih miskin.

Suatu keyakinan, bahwa tidak perlu waktu lama untuk peneterapan tekhnologi tepat guna di Sumatera Utara jika telah tersedia peragaan budidaya laut yang menguntungkan, karena masyarakat daerah itu cukup responsif terhadap hal-hal yang membawa keuntungan. Kini perlu lebih banyak uji-coba budidaya laut meliputi berbagai jenis hewan laut pemeliharaan.

2.3.3 Tenaga kerja dan investasi.

Penduduk Sumatera Utara yang tercatat pertengahan tahun 1982 sebanyak 8.594.137 jiwa, 65 % berada di pantai timur dan 17 % di pantai barat ( termasuk Nias ) sisanya 18 % di daerah pegunungan (BAPPEDA SUMUT, 1983).

Angkatan kerja meliputi 36 % dari jumlah penduduk dan PDRB per kapita tahun 1983 Rp. 369.225,- dibandingkan dengan PDRB per kapita Indonesia Rp. 391.817,- masing-masing menurut harga berlaku (Kantor Statistik Sumatera Utara, 1984).

Belum diketahui pasti jumlah investasi dalam sub sektor perikanan, apalagi investasi untuk budidaya laut yang masih belum memasyarakat.

Tetapi secara global tahun 1983 di Sumatera Utara tercapai pengerahan dana sebesar Rp. 247 milliar dibandingkan dengan Rp. 6.088,1 milliar di seluruh Nusantara. Pada tahun itu jumlah kredit Rp. 761 milliar dibanding dengan Rp. 14.050,- milliar di seluruh Indonesia.

Dalam perkreditan itu, Rp. 128,- milliar berupa KIK/KMKP dibanding dengan Rp. 2.376,- milliar di seluruh Indonesia (BAPPEDA Sumatera Utara, 1984).

Dari angka diatas ditarik kesimpulan, bahwa dana kredit untuk pengembangan usaha rakyat dapat disediakan tanpa harus mentergantungkan pada jumlah nilai penyerahan dana.

2.3.4 Pemasaran.

Dalam jangka pendek masih sulit mengandalkan kekuatan pasar lokal untuk mendukung pengembangan budidaya laut di Sumatera Utara, karena daya beli yang masih relatif rendah dan tingkat preferensi terhadap molusca belum tinggi, kecuali untuk kelompok crustacea yang telah lama menjadi komoditi ekspor. Tetapi pasaran bagi molusca dan ikan kerapu/kakap masih mengandalkan pasar lokal.

Dalam hubungan dengan kebijakan untuk meningkatkan devisa dari ekspor NON MIGAS, sebaiknya mulai dijajagi pasaran luar negeri bagai kerang-kerangan dan ikan laut budidaya. Jumlah dan bentuk permintaan pasar luar negeri dijaikan pedoman untuk mengusahakan budidaya laut dan proses pasca panennya. Misalnya pasaran asing menginginkan kerang hidup, maka harus dapat diusahakan semua proses sesudah pengumpulan hingga tiba di pasar konsumen luar negeri dalam tempo 30 jam, yaitu batas waktu hidup kerang darah di luar air laut ( MILNE, 1972 ). Jika dibutuhkan dalam bentuk beku, Sumatera Utara dengan delapan unit Coldstorage yang beroperasi dibawah kapasitas pasang, telah siap untuk itu. Namun harus didasari, bahwa jarang terdapat neraca pembeli membiarkan dirinya sebagai pasar terbuka bagi barang-barang dari negara asing, karena itu upaya politik dan diplomatik harus dipertajam untuk mempu menembusnya.

3. PERMASALAHAN

Berbagai masalah yang dihadapi dalam rencana pengembangan budidaya kerang di Sumatera Utara menyangkut lingkungan (ekologi), pemasaran, pengaturan dan lain-lain.

  1. Endapan lumpur terlalu tebal pada sebagian besar dasar perairan pantai, terutama di mulut sungai. Suspensi lumpur dalam air sungai memperkecil angka kecerahan di estuaria yang berakibat pada hambatan pertumbuhan ganggang dan sebagian organisme air. Pemecahan masalah ini dalam jangka pendek hanya dengan identifikasi lokasi dengan tepat, dan jangka panjang dengan pengaturan tata air di DAS.
  2. Daerah yang sesuai untuk budidaya laut adalah juga daerah penangkapan bagi nelayan sejak dahulu kala, karena itu untuk budidaya laut yang memerlukan hak atas kapling-kapling secara penuh akan mendapat tantangan dari para nelayan. Perlu persiapan pengaturan, batas kewenangan petani atas sebidang laut dan sebagainya.
  3. Pasar lokal masih lemah, preferensi terhadap molusca, dan ikan budidaya laut belum tinggi, daya beli masyarakat masih rendah dan pasar luar negeri masih terbatas untuk udang. Karena itu perlu promosi di pasar lokal, domestik dan luar negeri.
  4. Analisa ekonomi budidaya laut belum ada di Sumatera Utara, karena belum ada uji-coba yang telah memberi data mantap, karena itu masih perlu meneruskan dan mengembangkan uji-coba kultur laut ini.
  5. Vegetasi daerah pantai dan estuaria dibanyak tempat telah rusak, terganggu atau habis, karena itu telah banyak daerah pengembangbiakan alami hewan laut dibawah kondisi minimal. Karena itu sumber benih alami untuk budidaya laut masa depan diharapkan dari pembenih-pembenihan (Hatcheries).

4. KESIMPULAN

Sumber daya alam Sumatera Utara untuk budidaya laut memungkinkan pengembangan usaha itu pada masa depan dengan prospek baik.

Hasil pengumpulan dan penangkapan terhadap kelompok molusca, crustacea, ikan-ikan kakap, kerapu dan belanak menunjukkan bahwa beberapa jenis diantaranya seperti kerang darah, udang windu, udang putih dan udang barong tidak dapat meningkat, sejak tahun 1981 dan jenis lain seperti kerang darah dan remis mulai dengan tanda-tanda lebih pungut.

Untuk memungkinkan peningkatan produksi bagi mendukung kebijakan ekspor dan perluasan kesempatan kerja, perlu mempersiapkan pengembangan budidaya laut di Sumatera Utara dengan berbagai uji-coba peneterapan tehnik-tehnik yang diperkirakan tepat.

Namun berbagai masalah memungkinkan hambatan-hambatan masa depan yang memerlukan usaha-usaha pemecahan sejak dini.


Previous Page Top of Page Next Page